TugasBahasa Indonesia A.Menentukan tokoh dan perwatakan Setelah mempelajari kutipan novel diatas,sekarang menentukan tokh dan perwatakan.tunjukkan buktinya dalam teks,isikan dalam table berikut?
Bahasa menjadi salah satu alat untuk berkomunikasi. Indonesia adalah negara kesatuan yang memiliki kekayaan budaya. Dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, meskipun berbeda – beda budaya, suku, dan agamanya, tetapi tetap satu juga, yaitu satu tanah air, satu bangsa, dan satubahasa. Seperti yang tertuang dalam sumpah pemuda yang berbunyi “Kami Putra dan Putri Indonesia Menjunjung Tinggi Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia”, yang telah diikrarkan jauh sebelum Indonesia merdeka, pada tanggal 28 Oktober 1928. Isi dari sumpah pemuda tersebut sampai sekarang masih terus dijaga demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI tercinta. Bahasa menjadi salah satu alat untuk berkomunikasi. Komunikasi digunakan untuk menyampaikan maksud tertentu dari seseorang kepada orang lain. Tanpa bahasa kita akan sulit untuk berkomunikasi dan menyampaikan maksud ataupun tujuan kita kepada orang lain serta berinteraksi dalam kehidupan memiliki peran penting dalam membentuk karakter. Bahasa Indonesia berperan sebagai cerminan karakter bangsa Indonesia sehingga harus digunakan sesuai dengan konteks dan kedudukannya secara baik dan benar. Bahasa juga diperlukan dalam kehidupan sosial, agar interaksi sosial dapat berjalan dengan baik melalui komunikasi dan hubungan timbal balik satu sama Indonesia merupakan bahasa nasional yang digunakan sebagai pemersatu masyarakat Indonesia, tetapi bahasa indonesia sering kurang diperhatikan baik dalam pengucapan maupun penulisan oleh masyarakat. Masih banyak masyarakat yang tidak menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah yang baik dan benar. Ketika kita berkomunikasi di kehidupan sehari-hari, tidak jarang kita menjumpai orang yang menggunakan bahasa Indonesia yang tidak baku. Bahkan, cenderung mencampur dengan bahasa daerahnya kehidupan sehari-hari, bahasa Indonesia masih kurang diperhatikan oleh masyarakat. Misalnya saat sedang berkomunikasi formal, masyarakat masih sering mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa daerahnya. Maka, bahasa yang digunakan oleh masyarakat ini tergantung dimana lingkungan dan budaya yang ditempatinya yang menjadikebiasaannya sehari-hari. Hal ini sulit dikembalikan ke bentuk yang sebenarnya, karena sudah mendarah daging bagi diri seseorang. Tetapi, jika ada keinginan pasti akan bisa untuk mempelajari bahasa Indonesia yang baku dan sering latihan untuk berbicara yang formal saat berbicara dengan orang bahasa daerah untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari merupakan salah satu bentuk pelestarian budaya. Namun, saat berkomunikasi dengan orang yang berbeda suku daerah dengan kita, maka kita harus menggunakan bahasa Indonesia yang baku sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia PUEBI dan tidak mencampurnya dengan bahasa daerah, agar tidak terjadi kesalahpahaman. Karena sudah terbiasa menggunakan bahasa daerah, seringkali pelajar kurang mengerti tentang penggunaan bahasa Indonesia yang benar. Sehingga tak sedikit pelajar pada saat pelajaran bahasa Indonesia mendapatkan nilai yang kurang itu, masyarakat sering mencontoh penggunaan bahasa yang ditayangkan di media massa seperti tayangan sinetron. Hal itu, membuat masyarakat menganggap bahwa bahasa yang ditayangkan menggunakan bahasa yang benar. Kenyataannya, bahasa tersebut tidak menggunakan bahasa yang baik dan benar sesuai kaidah bahasa itu, solusi yang dapat kita lakukan dalam mengatasi permasalahan tersebut ialah dengan menerapkan empat aspek keterampilan berbahasa dengan baik. Diawali dengan menyimak bahasa di lingkungan sekitar kita, orang pertama yang dapat mengajarkan berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia adalah orang tua. Meskipun kebanyakan orang tua menggunakan bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari namun bahasa Indonesia tetap penting diajarkan untuk anak. Jadi, dalam hal ini orang tua juga berperan penting dalam mengajari anaknya berbahasa Indonesia tanpa melupakan bahasa Ibu bahasa daerah. Kemudian, sering berbicara dengan orang lain menggunakan bahasa Indonesia yang baku. Lalu, banyak membaca buku, majalah atau media elektronik lainnya untuk menambah kosakata dalam berbahasa. Hingga menulis karangan atau karya ilmiah lainnya yang membuat kita terbiasa dalam menulis menggunakan bahasa sesuai kaidah yang benar. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sangat berperan penting dalam kehidupan sehari-hari, bahasa bisa menjadi salah satu alat untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Bahasa juga dapat mencerminkan kepribadian dan karakter seseorang. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa orang tua sangat berperan penting dalam mendidik anak agar dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Selain itu, bahasa daerah merupakan bahasa etnis yang harus dijaga sebagai budaya yang menjadi pemersatu dalam etnis itu sendiri, namun penggunaannya harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta tidak mempergunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia secara bersamaan karena dapat mengurangi maupun menambah makna dari kata yang di ucapkan dan juga sangat berpengaruh terhadap etika berbahasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemudian kesimpulan yang terakhir yaitu dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, dapat meningkatkan wawasan pengetahuan pelajar tentang bagaimana cara penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta segala makna yang ada didalamnya. Dari penjelasan di atas, saran yang ingin penulis sampaikan yaitu diperlukan kesadaran dari pembaca agar mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta beretika. Kemudian menghindari penggunaan bahasa daerah dan bahasa Indonesia secara bersamaan, karena dapat megurangi makna dari bahasa itu sendiri dan agar suku lain tidak tersinggung dengan adanya kata yang sama namun memiliki arti yang berbeda dengan suku yang satu. Selain itu, sebaiknya penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar agar dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari melalui metode-metode PUSTAKA Arifin, dkk. 2010. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta AKAPRESS. Sudaryanto. 1988. Ke Arah Memahami Metode Linguistik & Metode dan Aneka Teknik Pengumpulan Data. Yogyakarta Gajah Mada University Press. Widjono. 2007. Bahasa Indonesia Mata Kuliah Pengembangan di PT. Jakarta Grasindo. Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya “Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.” Berikan Komentar Tim Dalam Artikel Ini Penulis
Translationsin context of "BERKOMUNIKASI MENGGUNAKAN BAHASA INGGRIS" in indonesian-english. HERE are many translated example sentences containing "BERKOMUNIKASI MENGGUNAKAN BAHASA INGGRIS" - indonesian-english translations and search engine for indonesian translations.
- Setiap lebaran tiba, rumah saya yang terletak di salah satu kecamatan di ujung selatan Jawa Barat selalu dipenuhi para kemenakan. Sebagian telah duduk di sekolah menengah pertama, sebagian lagi masih di sekolah dasar. Mereka berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, baik dengan orang tua maupun dengan sesama saudara sepupu. Orang tua mereka hampir seratus persen penutur bahasa Sunda. Namun tak seorang pun dari para kemenakan itu yang fasih berbahasa Sunda. Sebagai paman, mereka memanggil saya “om”, alih-alih “mang”. Bagaimana dengan para tetangga? Setali tiga uang. Dulu, saat saya seusia mereka, kondisinya terbalik. Jika saya dan teman-teman ada yang berbicara bahasa Indonesia di luar jam pelajaran sekolah, pasti diolok-olok. Dianggap meniru gaya orang kota. Di rumah, bahasa yang orang tua kami gunakan untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya adalah bahasa Sunda. Ada proses pewarisan bahasa daerah, bahasa ibu, atau bahasa sékésélér, yang kiwari mulai ditinggalkan para pasangan muda saat berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Kondisi serupa terjadi juga di Kabupaten Flores Timur. Beberapa kawan yang berasal dari Larantuka dan Solor menceritakan tentang proses komunikasi dengan anak-anak mereka yang mayoritas menggunakan bahasa Indonesia, alih-alih menggunakan bahasa Lamaholot. Proses pewarisan terputus. Anak-anak hanya memungut bahasa daerah dari lingkungan di luar rumah. Kemahiran berbahasa daerah semakin merosot. Jika membaca catatan Ajip Rosidi, orang yang telaten dalam menjaga dan mengembangkan bahasa Sunda, dalam Kudu Dimimitian di Imah 2014, rupanya fenomena ini bukan hal baru. Sekali waktu ia memenuhi undangan acara syukuran kawannya di Jakarta yang ia sebut “Ki Silah”, yang ia kenal sejak 1956 saat diadakan Kongres Pemuda Sunda. Adik kawannya itu bertahun-tahun menulis situasi politik dan sosial di majalah Manglé yang berbahasa Sunda. Sebagaimana pengakuan kawannya, kakak-beradik itu dibesarkan di lingkungan Paguyuban Pasundan. Namun Ajip merasa heran saat acara syukuran itu memutar video yang berisi riwayat hidup singkat “Ki Silah” yang dibuat oleh anak kawannya tersebut. Dalam video muncul nama Ramadhan Sastrawan asal Cianjur itu tidak ditulis “Ramadhan Karta Hadimadja”, melainkan “Kiai Haji Ramadhan”. Kemudian saat anak pertama kawannya itu berpidato menghaturkan terima kasih kepada ayahnya, ia menggunakan bahasa Inggris. Juga kedua adiknya yang berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang bercampur dengan bahasa Inggris. Di titik itu Ajip bertanya-tanya. Kenapa kawannya yang lahir dan hidup dalam lingkungan pergerakan Sunda, juga pernah ditahan selama hampir empat tahun gara-gara terlibat dalam gerakan kesundaan yang berseberangan dengan pemerintah, tidak menanamkan kesundaan, terutama dalam bahasa, kepada anak-anaknya. Sebagian kawannya yang lain mengatakan kepadanya bahwa hal itu terjadi karena mereka lama hidup di luar negeri saat “Ki Silah” menjadi diplomat. Namun alasan itu buru-buru Ajip bantah, sebab kawannya yang lain yang juga lama bertugas sebagai diplomat, malah anak-anaknya lahir di Perancis, semuanya mampu berbahasa Sunda. Ketakutan dan Tidak Mangkus “Apakah Ki Silah menjadi jera menggeluti kesundaan setelah dipenjara selama hampir empat tahun? Kemudian menyingkirkan segala rupa yang berbau Sunda?” tanya Ajip. Pertanyaan itu bisa jadi jawabannya “ya”, sebagai cara bertahan hidup “Ki Silah” atas masa lalunya yang berseberangan dengan pemerintah, yang kemudian ia bisa berkiprah di Kementerian Luar Negeri. Dalam konteks yang agak berbeda, orang-orang Minangkabau merevolusi tipe nama mereka setelah kegagalan PRRI. Namun intinya sama ada kompromi yang mengorbankan akar tradisi. Kita tahu, alasan ketakutan seperti contoh di atas tak dapat dilekatkan ke dalam konteks kiwari dalam penolakan menggunakan bahasa daerah. Perkara lain yang paling memungkinkan dijadikan alasan oleh para orang tua adalah soal keefektifan. Anak-anak menghabiskan sebagian hidup di sekolah dan lingkungan pergaulan mereka. Bahasa pengantar di sekolah adalah bahasa Indonesia. Sementara di lingkungan pergaulan—khususnya dalam kasus bahasa Sunda—meski para orang tua mereka penutur bahasa Sunda, proses pewarisannya terputus, sehingga mereka lagi-lagi menggunakan bahasa Indonesia. “Tidak mangkus,” ujar seorang kawan asal Bandung, beristri orang Bandung, dan tinggal di Jakarta, soal tak digunakannya bahasa Sunda dalam berkomunikasi dengan anaknya. Alasan tersebut masuk akal. Sah-sah saja jika ia menghindari kerepotan mengajarkan bahasa Sunda, di tengah keseharian yang hampir sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia. Lagi pula, jika mengacu pada hasil penelitian Jérôme Samuel dalam Kasus Ajaib Bahasa Indonesia? Pemodernan Kosakata dan Politik Peristilahan 2008, bahasa daerah memang kalah bersaing dengan bahasa Indonesia. Fungsinya juga semakin terbatas, terutama dalam tulisan. Pada masa kolonial bahasa daerah hadir dalam pelbagai bidang seperti kesusastraan daerah, terjemahan kesusastraan dari bahasa Melayu dan bahasa Barat, pengajaran ilmu hitung, sejarah, ilmu bumi, ilmu pendidikan, ilmiah populer kesehatan, atau teknik listrik, mekanik. Namun sejak 1945 penggunaannya semakin terbatas. Pers yang mempertahankan penggunaan bahasa daerah hampir semuanya sekarat. Lagu-lagu pop daerah lebih lebih dekat ke ragam lisan daripada tulisan. Sejumlah sensus menyiratkan bahwa sejak awal kemerdekaan, bahasa Indonesia berkembang tanpa menyebabkan kemunduran bahasa-bahasa daerah. Sehingga kedwibahasaan seolah-olah menjadi norma dalam kemampuan berbahasa di Indonesia. “Akan tetapi, pernyataan tentang bahasa-bahasa daerah ini banyak berlandas pada gambaran resmi sesaat yang ketepatannya sulit diukur, sementara pengamatan di lapangan menunjukkan kenyataan yang berbeda […] Terjadi kemunduran bahasa-bahasa daerah, baik di wilayah-wilayah tepian ataupun yang lebih dekat pusat,” tulis Samuel. Jika ditimbang dari sudut tersebut, soal penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa ibu dalam percakapan di keluarga, pada akhirnya tergantung kepada sesuatu yang lebih bersifat emosional, yaitu perasaan terhubung dengan sékésélér atau leluhur. Contoh untuk kondisi ini telah disinggung sebelumnya, tentang keluarga diplomat asal Sunda yang bertugas di Perancis dan tetap menggunakan bahasa Sunda di rumah. Tak ada pertimbangan keefektifan, juga tak ditakar oleh mangkus tidaknya bahasa tersebut. “Anaknya yang paling besar berkata kepada saya, bahwa sebetulnya bahasa utama mereka adalah bahasa Perancis sebab lahir, tumbuh, dan sekolah di Paris, tapi karena [orang tua dan saudara-saudaranya] di rumah menggunakan bahasa Sunda, ia pun mampu menggunakan bahasa tersebut,” imbuh Ajip. Gengsi dan Kekenesan Dalam masyarakat dwibahasa, fungsi bahasa galibnya memang berbeda-beda. Dan seperti dituturkan sebelumnya, di Indonesia bahasa daerah memiliki fungsi yang lebih rendah daripada bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Hal ini kemudian melahirkan prestise berbahasa yang berbeda-beda. “Lazimnya, orang merasa berprestise tinggi jika dia dapat berbahasa Inggris dengan baik, yakni bahasa yang memiliki fakta keinternasionalan. Sebaliknya, orang merasa berprestise rendah jika hanya dapat berbahasa daerah,” tulis R. Kunjana Rahardi dalam Dimensi-dimensi Kebahasaan Aneka Masalah Bahasa Indonesia Terkini 2006. Ia menambahkan, kenyataan berbahasa seperti itu bukan hanya di Indonesia, tapi juga terjadi di negara-negara Eropa terhadap bahasa patois atau variasi lokal suatu bahasa yang bersifat nonstandar. Menurutnya, bahasa ini tidak terpelihara, tidak terkultivasi, dan tidak dikembangkan secara baik, serta hanya dipakai masyarakat kelompok bawah. “Bahkan, secara ironis, mereka menyebut sebagai bahasanya orang-orang dari dunia keempat,” tentang tingkatan gengsi bahasa, jika ditarik ke dalam kondisi penggunaan bahasa daerah hari ini di Indonesia, bisa jadi menjadi salah satu alasan para orang tua dalam menggunakan bahasa Indonesia saat berkomunikasi dengan anak-anak mereka, alih-alih menggunakan bahasa daerah. Jika tak sepenuhnya, leksikon-leksikon tertentu dalam bahasa yang lebih bergengsi mereka pungut dan dicampuradukkan dengan bahasa yang mereka pakai sehari-hari. Rahardi menyebut laku ini sebagai “menyombongkan diri”. Sementara Alif Danya Munsyi dalam Bahasa Menunjukkan Bangsa 2005 menyebutnya sebagai “kekenesan berbahasa”. Infografik Prestise Bahasa. waktu di bulan Oktober 2003, sebelum meninggalkan sebuah hotel di Yogyakarta, Danya Munsyi diminta untuk menuliskan kesan-kesan terhadap hotel tersebut. Saat hendak menulis, ia melihat tulisan Syamsul Maarif saat itu menteri yang sehari sebelumnya menginap di hotel yang sama. “Like other guests, I feel good stay in Santika. Manajement tahu bagaimana memperlakukan tamu secara profesional,” tulis Maarif yang dipanggil “encik” oleh Danya Munsyi. Demi melihat tulisan itu, ia kemudian mengeluarkan unek-uneknya tentang penyakit “nginggris” yang merasuki orang Indonesia, khususnya kalangan terpelajar, yang menurutnya semestinya lebih mengerti konteks sejarah yang mengiringi lahir dan tumbuhnya bahasa Indonesia. “Bahasa Indonesia menjadi tidak karuan karena pemakainya, terutama kalangan terpelajar, dalam bercakap maupun menulis, tampak seperti kesurupan, jor-joran, menghias bahasa Indonesia dengan kata-kata, istilah-istilah, bahkan kalimat-kalimat tertentu bahasa Inggris. Tidak jelas apa maunya, apakah supaya kelihatan pintar, kelihatan cendekia, ataukah sekadar menunjukkan bakat genit dan kebolehan bersolek?” tegasnya. Kekenesan ini, yakni mencampuradukkan dua bahasa yang memiliki gengsi berbeda, bisa juga terjadi dalam percampuran antara bahasa daerah dengan bahasa Indonesia. Dari sisi sosiolinguistik dan sosiokultural, menurut Kunjana Rahardi, kenyataan sintesis kebahasaan tersebut seolah-olah tidak tersanggahkan. Namun dalam kerangka pembinaan dan pembakuan bahasa, kenyataan kebahasaan ini merupakan spesimen pelanggaran yang perlu diperbaiki. Dalam semangat pemeliharaan dan pemajuan bahasa daerah, pelbagai kenyataan ini tentu mustahak menjadi catatan yang mesti diperhatikan. Memang bukan hal mudah untuk memperbaikinya, namun setiap orang yang masih peduli setidaknya bisa mempertimbangkan usul Ajip Rosidi bahasa daerah bisa dimulai di rumah sehingga tak memotong proses pewarisannya. - Sosial Budaya Penulis Irfan TeguhEditor Ivan Aulia Ahsan
. gszyxsh253.pages.dev/716gszyxsh253.pages.dev/924gszyxsh253.pages.dev/888gszyxsh253.pages.dev/952gszyxsh253.pages.dev/330gszyxsh253.pages.dev/230gszyxsh253.pages.dev/759gszyxsh253.pages.dev/165gszyxsh253.pages.dev/96gszyxsh253.pages.dev/579gszyxsh253.pages.dev/278gszyxsh253.pages.dev/479gszyxsh253.pages.dev/35gszyxsh253.pages.dev/229gszyxsh253.pages.dev/457
orang tuamu selalu menggunakan bahasa daerah untuk berkomunikasi